
Seorang ibu sedang berjalan di lorong supermarket bersama anaknya. Ketika si kecil menunjuk mainan yang lumayan mahal dan berkata dengan penuh semangat, “Aku mau ini sekarang, Bu!” ia terdiam sejenak. Di benaknya, bayangan masa kecilnya melintas—masa di mana setiap permintaannya selalu dijawab dengan nada tegas, “Cari uang itu susah!” Kata-kata itu tertanam begitu dalam hingga kini menjadi keyakinan yang ia bawa tanpa sadar. Keyakinan itu membentuk pola pikirnya: Bahwa uang sangat susah didapatkan.
Bertahun-tahun berlalu, ia bekerja keras tanpa henti, tetapi rasanya selalu kurang saja. Segala upaya, bahkan yang paling berat sekalipun, sering kali berakhir pada kesimpulan yang sama: “Memang cari uang itu susah.” Ia tidak pernah menyadari bahwa masalah yang ia hadapi bukan hanya tentang ekonomi, melainkan tentang "program" yang tertanam dalam pikirannya. Dan sekarang, di lorong supermarket ini, ia berdiri di persimpangan—antara melanjutkan warisan keyakinan itu atau menciptakan cerita baru untuk anaknya.
Sang ibu memandang si kecil yang masih menatap mainan itu dengan mata berbinar, penuh harap. “Bu, aku janji bakal jaga mainannya baik-baik,” kata si kecil, mencoba meyakinkan. Tapi di kepala sang ibu, suara itu kembali terdengar—lebih keras kali ini. “Cari uang itu susah. Jangan boros. Kalau kamu turuti, nanti dia jadi anak manja!”
Konflik batin mulai memuncak. Di satu sisi, ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia ingin si kecil tahu bahwa keinginan itu tidak salah, bahwa mimpi bisa diwujudkan jika diusahakan dengan cara yang benar. Tapi di sisi lain, ada ketakutan besar yang mengikatnya. Bagaimana jika dengan memberikan mainan ini, ia justru merusak nilai-nilai yang dulu orang tuanya ajarkan? Nilai hemat, kerja keras, dan tidak mengharapkan segalanya dengan mudah.
Namun, dalam hatinya yang paling dalam, ia sadar ada sesuatu yang salah. Kenapa finansialnya selalu terasa sulit? Kenapa semua upaya yang ia lakukan seolah membuktikan bahwa keyakinan “cari uang itu susah” benar adanya? Ia mulai merasa bahwa masalah sebenarnya bukan hanya di angka penghasilan atau besarnya kebutuhan, melainkan sesuatu yang lebih mendasar—keyakinan yang tertanam dalam dirinya sejak kecil, yang terus melahirkan tindakan yang sama. Sehingga uang seret mengalir ke dompetnya
Sambil memegang tangan anaknya, ia menarik napas panjang. Di satu sisi, keinginan untuk menjaga tradisi masa lalu begitu kuat. Tapi di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa jika ia terus melanjutkan pola pikir ini, anaknya mungkin akan tumbuh dengan beban yang sama—merasa hidup adalah perjuangan mendapatkan uang yang selalu berat.
“Bagaimana caranya mengajarkan nilai uang tanpa menanamkan ketakutan yang sama?” pikirnya. Konflik ini terus bergolak dalam pikirannya, sementara anaknya masih menunggu jawaban.
Sang ibu akhirnya menunduk, menatap mata si kecil yang penuh harap. Ia tahu jawaban spontan seperti “Tidak boleh, uang kita tidak cukup” atau “Mainan itu mahal, nyari uang itu susah Nak” hanya akan mengulang pola yang sama—pola yang dulu membuatnya tumbuh dengan rasa takut terhadap uang dan kesulitan dalam mengelolanya.
Sambil menarik napas, ia berkata dengan lembut, “Mainan ini memang menarik, ya? Tapi, tahukah kamu, apakah mainan ini benar-benar kamu butuhkan sekarang atau sesuatu yang bisa kita rencanakan untuk nanti? . Karena kita tadi ga merencanakan membeli mainan itu. Ibu juga ga menjanjikan sebelumnya ka?!”
“Jadi aku nggak bisa beli ini?” tanya si kecil, kecewa.
Sang ibu tersenyum lagi. “Bukan begitu, Nak. Kamu bisa punya mainan ini, tapi kita harus menabung dulu untuk membelinya. Kita buat rencana bersama, ya. Misalnya, kalau kamu mau mainan ini, kita sisihkan uang setiap minggu dari tabunganmu. Kamu juga bisa membantu Ibu di rumah untuk mendapatkan sedikit tambahan uang jajan. Dengan begitu, kamu belajar bagaimana mendapatkan apa yang kamu inginkan dengan usaha.”
Mata si kecil berbinar lagi, kali ini bukan karena mainan, tapi karena ia merasa dilibatkan dan diberi tanggung jawab. “Jadi aku bisa bantu cuci piring dan dapat uang jajan tambahan, ya?” tanyanya penuh semangat.
Sang ibu mengangguk, merasa lega. “Betul. Dengan begitu, kamu bisa belajar berjuang untuk apa yang kamu inginkan. Dan bersabar dalam mendapatkannya”
Mereka pun berjalan meninggalkan lorong mainan dengan hati yang lebih ringan. Sang ibu merasa satu langkah kecil ini adalah awal dari perubahan besar—bukan hanya bagi pola pikir anaknya, tapi juga untuk dirinya sendiri. Ia mulai memahami bahwa mengubah keyakinan bukan berarti menghapus nilai-nilai masa lalu, melainkan memodifikasinya agar lebih relevan dan positif untuk masa kini.
Di perjalanan pulang, ia memutuskan satu hal: ia akan terus belajar cara mengelola uang dengan lebih sehat—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga sebagai warisan mindset yang lebih baik untuk anak-anaknya.